Beranda | Artikel
Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 4)
Rabu, 15 Juni 2022

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 3)

Hakikat tauhid rububiyah

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga dengan gamblang berupaya menjelaskan bahwa tauhid rububiyah semata tidaklah cukup bagi seorang muslim. Seseorang tidaklah menjadi muslim sejati, kecuali dengan mewujudkan tauhid dengan sempurna.

Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Misalnya, meyakini Allah sebagai satu-satunya Pencipta, Pemberi rezeki, Penguasa dan Pemilik seluruh alam, Yang Memuliakan dan Merendahkan, Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, Yang Mengatur siang dan malam, dan Yang Menghidupkan dan Mematikan. Allah telah menetapkan fitrah pada seluruh manusia untuk mengakui keesaan Allah dalam hal rububiyah ini. Bahkan, kaum musyrikin sekalipun yang menujukan ibadah kepada selain-Nya juga mengakui keesaan-Nya dalam hal rububiyah. (lihat keterangan Syekh Al-Fauzan dalam ‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 22-24)

Barangsiapa yang mengakui tauhid rububiyah, wajib baginya untuk beribadah kepada Allah semata sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Barangsiapa yang mengakui bahwa Allah adalah Pencipta dirinya, Pemberi rezeki baginya, dan Yang mencurahkan kepadanya segala bentuk kenikmatan, maka wajib atasnya untuk bersyukur kepada Allah atas hal itu dengan cara beribadah kepada-Nya semata, tidak kepada selain-Nya. (lihat keterangan Syekh Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin dalam Tahdzib Tashil Al-‘Aqidah Al-Islamiyah, hal. 27)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil (bodoh) dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allahlah Sang Pencipta dan Pemberi rezeki, Yang Menghidupkan dan Mematikan, dan Yang Mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini, namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam.” (lihat At-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)

Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Di antara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb (Allah), walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb (Pencipta dan Penguasa alam semesta), tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1: 8)

Tauhid yang menjadi tujuan penciptaan dan hikmah diutusnya para rasul adalah tauhid uluhiyah atau disebut juga tauhid al-qashd wa ath-thalab (mengesakan Allah dalam hal keinginan dan tuntutan), yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya-. Adapun tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat (disebut juga tauhid al-‘ilmi wal i’tiqad), maka kebanyakan umat manusia telah mengakuinya. Dalam hal tauhid uluhiyah, kebanyakan mereka menentangnya. Ketika rasul berkata kepada mereka,

  یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۚ 

“Sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raf: 65)

Mereka berkata,

 أَجِئۡتَنَا لِنَعۡبُدَ ٱللَّهَ وَحۡدَهُۥ

“Apakah kamu datang kepada kami agar kami hanya beribadah kepada Allah saja.” (QS. Al-A’raf : 70).

Orang-orang musyrik Quraisy pun mengatakan,

أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَیۡءٌ عُجَابࣱ

“Apakah dia (Muhammad) menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja. Sesungguhnya hal ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5) (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4)

Dengan demikian, orang-orang musyrik terdahulu mengetahui konsekuensi dari kalimat laa ilaha illallah, sementara orang-orang yang menyembah kubur pada masa kini (yang mengaku sebagai muslim) ternyata tidak mengetahui makna laa ilaha illallah!

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Bahkan, ulama mereka yang mendalam pengetahuannya mengenai fikih, nahwu, tafsir, dan hadis pun tidak mengetahui makna laa ilaha illallah. Oleh sebab itulah, mereka tidak mengingkari peribadatan kepada kuburan…” (lihat At-Ta’liq Al-Mukhtashar Al-Mubin, hal. 20)

Inilah hakikat yang ingin dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam karya-karyanya. Di antaranya di dalam Al-Qawa’id Al-Arba’, beliau mengatakan, “Bahwasanya orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengakui bahwasanya Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemberi rezeki, dan Yang Mengatur segala urusan. Akan tetapi, hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam.”

Bahkan, orang musyrik sekalipun meyakini bahwa alam semesta ini dikuasai oleh Allah. Allah yang memberi rezeki, yang menghidupkan, dan mematikan. Allah berfirman,

قُلۡ مَن یَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَاۤءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن یَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَمَن یُخۡرِجُ ٱلۡحَیَّ مِنَ ٱلۡمَیِّتِ وَیُخۡرِجُ ٱلۡمَیِّتَ مِنَ ٱلۡحَیِّ وَمَن یُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَیَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’” (QS. Yunus: 31)

Baca Juga: Tauhid, Fitrah Seluruh Manusia

Bahkan, orang-orang musyrik sekalipun ketika tertimpa bahaya dan dirundung petaka kembali kepada Allah dan berdoa tulus kepada-Nya semata. Mereka campakkan sesembahan selain-Nya, saat terjepit bencana. Allah berfirman,

فَإِذَا رَكِبُوا۟ فِی ٱلۡفُلۡكِ دَعَوُا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ إِذَا هُمۡ یُشۡرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik di atas perahu, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan untuk-Nya agama (doa). Ketika Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka pun berbuat kesyirikan.” (QS. Al-’Ankabut: 65)

Allah berfirman,

وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرࣱّ دَعَوۡا۟ رَبَّهُم مُّنِیبِینَ إِلَیۡهِ ثُمَّ إِذَاۤ أَذَاقَهُم مِّنۡهُ رَحۡمَةً إِذَا فَرِیقࣱ مِّنۡهُم بِرَبِّهِمۡ یُشۡرِكُونَ

“Dan apabila suatu mara bahaya menimpa manusia, mereka pun berdoa kepada Rabbnya seraya inabah (kembali) kepada-Nya. Kemudian ketika Allah berikan dari-Nya sebagian rahmat, tiba-tiba sebagian dari mereka pun kembali berbuat kemusyrikan kepada Rabbnya.” (QS. Ar-Rum: 33)

Ayat-ayat yang gamblang ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sikap kaum musyrikin terdahulu adalah apabila mereka tertimpa musibah, maka mereka kembali kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya.

Sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Ishaq dari Ikrimah bin Abu Jahal yang mengisahkan bahwa orang-orang musyrik kala itu ketika berada di atas kapal dan terancam oleh badai (ombak lautan) mereka mengatakan, “Wahai kaum, murnikanlah untuk Rabb kalian permintaan (doa) kalian. Karena tidak ada yang bisa menyelamatkan dalam keadaan ini, kecuali Dia (Allah).” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 6: 160 cet. At-Taufiqiyah)

Allah pun telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya,

وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِی ٱلۡبَحۡرِ ضَلَّ مَن تَدۡعُونَ إِلَّاۤ إِیَّاهُۖ فَلَمَّا نَجَّىٰكُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ أَعۡرَضۡتُمۡۚ وَكَانَ ٱلۡإِنسَـٰنُ كَفُورًا

“Dan apabila menimpa kalian suatu mara bahaya (musibah) di tengah lautan, maka lenyaplah semua sesembahan yang kalian seru, kecuali Dia. Maka ketika Allah selamatkan kalian ke daratan, ternyata kalian pun berpaling. Dan manusia itu adalah orang yang sangat ingkar.” (QS. Al-Isra’: 67)

Dalil-dalil ini menunjukkan kepada kita dengan gamblang bahwa hakikat keislaman dan ketauhidan seorang hamba harus selalu mewarnai hidup seorang muslim. Tidaklah dia dikatakan muwahhid (orang yang bertauhid), kecuali apabila memurnikan segala amal dan ibadahnya kepada Allah, baik dalam kondisi lapang maupun dalam kondisi susah. Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ 

“Dan tidaklah mereka diperintahkan, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan untuk-Nya agama dengan hanif.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Adapun beribadah kepada Allah hanya pada saat sempit dan memurnikan doa untuknya di saat terkepung bencana, sementara di saat lapang bersyirik ria, maka ini bukanlah hakikat keislaman dan tauhid yang dituntut pada diri seorang hamba. Lantas bagaimana lagi jika pada saat lapang dan sempit selalu menghiasi hati dan perilaku dengan kekufuran?! Tentu ini bukanlah sifat insan beriman. Allah berhak diibadahi dan diesakan dalam ibadah kapan saja dan di mana saja, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah.

Baca Juga: Dakwah Tauhid, Perusak Persatuan?

Oleh sebab itu, Allah menyebut perbuatan berdoa kepada selain Allah, meminta keselamatan dan perlindungan kepada selain-Nya sebagai kesesatan yang paling parah. Allah berfirman,

وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّن یَدۡعُوا۟ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَن لَّا یَسۡتَجِیبُ لَهُۥۤ إِلَىٰ یَوۡمِ ٱلۡقِیَـٰمَةِ وَهُمۡ عَن دُعَاۤىِٕهِمۡ غَـٰفِلُونَ

“Dan siapakah orang yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah, sosok yang tidak akan bisa memenuhi permintaannya sampai hari kiamat. Dan mereka itu dalam keadaan lalai terhadap doa yang ditujukan kepada dirinya.” (QS. Al-Ahqaf: 5)

Apabila kaum musyrikin terdahulu bisa menemukan nilai-nilai penghambaan kepada Allah tatkala tertimpa musibah dan kesulitan, maka sungguh merugi jika ada di antara kaum muslimin sekarang ini yang justru menjerumuskan dirinya dalam syirik di saat musibah menerpa dan bencana melanda. Seharusnya musibah dan bencana ini menyadarkan kita akan arti penting tauhid dan keikhlasan kepada Allah.

Allah berfirman,

 وَٱلَّذِینَ تَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا یَمۡلِكُونَ مِن قِطۡمِیرٍ

إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا یَسۡمَعُوا۟ دُعَاۤءَكُمۡ وَلَوۡ سَمِعُوا۟ مَا ٱسۡتَجَابُوا۟ لَكُمۡۖ وَیَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ یَكۡفُرُونَ بِشِرۡكِكُمۡۚ وَلَا یُنَبِّئُكَ مِثۡلُ خَبِیرࣲ

“Dan apa-apa yang kalian seru selain Allah sama sekali tidak menguasai walaupun setipis kulit ari. Apabila kalian berdoa kepada mereka, maka mereka tidak mampu mendengar doa kalian. Seandainya mereka bisa mendengar, maka mereka juga tidak akan bisa memenuhi permintaan kalian. Dan pada hari kiamat nanti mereka akan mengingkari syirik yang kalian kerjakan, dan tidak ada yang bisa memberitakan kepadamu seperti halnya Yang benar-benar teliti dan mengetahui.” (QS. Fathir : 13-14)

Oleh sebab itu, Allah menjelaskan bahwa tawakal kepada-Nya merupakan karakter utama orang-orang beriman yang sesungguhnya. Allah berfirman,

 وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوۤا۟ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ

“Dan kepada Allah semata hendaklah kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Al-Maidah: 23)

Maksud ayat ini adalah apabila kalian beriman kepada Allah, maka wajib bagi kalian untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Maka, Allah menjadikan tawakal kepada-Nya sebagai syarat keimanan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Madarijus Salikin, “Hal ini menunjukkan bahwa ternafikan iman pada saat ternafikannya tawakal. Artinya, barangsiapa yang tidak bertawakal (kepada Allah semata), maka tidak ada iman padanya.” (dinukil dari Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah oleh Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah, hal. 62-63)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Bertawakal kepada sesuatu artinya adalah bersandar kepadanya. Adapun bertawakal kepada Allah maksudnya adalah menyandarkan diri kepada Allah Ta’ala dalam rangka mencukupi dan memenuhi keinginannya, baik di saat mencari kemanfaatan ataupun menolak kemudharatan. Ia merupakan bagian kesempurnaan iman dan tanda keberadaannya.” (lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hal. 38)

Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Sesuai dengan kekuatan tawakal, maka sekuat itulah keimanan seorang hamba dan bertambah sempurna tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala yang ingin dia lakukan atau tinggalkan, dalam urusan agama maupun urusan dunia.” (lihat Al-Qaul As-Sadid, hal. 101)

Dari sanalah maka Allah menyebut orang yang berdoa dan memohon keselamatan kepada selain-Nya adalah orang-orang yang zalim lagi syirik. Allah berfirman,

وَلَا تَدۡعُ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا یَنفَعُكَ وَلَا یَضُرُّكَۖ فَإِن فَعَلۡتَ فَإِنَّكَ إِذࣰا مِّنَ ٱلظَّـٰلِمِینَ

“Dan janganlah kamu menyeru kepada selain Allah, apa-apa yang tidak bisa mendatangkan manfaat bagimu dan tidak pula mendatangkan bahaya untukmu. Apabila kamu melakukan itu, maka sesungguhnya kamu benar-benar tergolong orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106)

Allah juga berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِیۤ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِی سَیَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِینَ

“Dan Rabb kalian mengatakan, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku, pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60)

[Bersambung]

Baca Juga:

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.


Artikel asli: https://muslim.or.id/75619-fikih-dakwah-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-4.html